Indonesia
pernah menorehkan catatan sejarah di kancah musik internasional.
Indonesia yang kaya akan budaya dan seni, pernah memiliki prestasi luar
biasa di belantika musik dunia dari era ‘70an sampai ‘90an akhir. Sebut
saja salah satu diantaranya KRAKATAU. Band beraliran Jazz ini cukup
terkenal di belahan asia timur dan eropa. Lalu ada KLA Project yang
kental dengan kualitas nada-nadanya juga pernah merajai musik asia.
Kemudian ada GOD BLESS yang cadas dan konsisten di jalur ROCK
selama tiga 3 dekade, tetap hingar bingar, dan sempat menjadi kiblat
para musisi ROCK di asia tenggara. Ada juga GONG 2000 yang juga
‘jelmaan’ GOD BLESS. Lalu Pernah ada SAS, ELPAMAS, yang ‘panas‘ di dengar pada tahun 70’an, GRASS ROCK, CAESAR, yang tune in di dekade 80’an. Belakangan di era 90’an muncul POWER METAL, EDANE, SLANK, JAMRUD, RIF, GIGI, POTRET, NETRAL, PAS, dll
Selain
kelompok musiknya, para musisinya secara invidu juga sangat
mempengaruhi kualitas musik negeri ini, sebut saja di antaranya Totok
Tewel, Erwin Gutawa, Fariz RM, Ireng Maulana, Dwiki Darmawan, Nugie,
Anang, Indra Lesmana, Idris Sardi, Harry Rusly, Dewa Bujana, Iwan Fals,
Doddy Katamsi, dll. Masih panjang lagi deretan nama yang terlalu panjang
untuk disebutkan satu per satu…..sebab substansi yang akan penulis
bahas dalam kesempatan ini adalah masalah betapa degradasinya kualitas
musik Indonesia sepuluh tahun terakhir ini hingga mempengaruhi cara
berfikir pendengarnya.
Lima tahun terakhir ini sangat banyak munculnya band-band baru yang instan bak secepat memasak mie instan dan dijual seperti jualan ‘kacang goreng’ di pasar malam. Sebut saja diantaranya ST12,
KANGEN, WALI, HIJAU DAUN, MATTA, GARNET, MAHKOTA, D’MASIV, VIERRA,
HANCUR BAND, ARMADA, SALJU, ANGKASA, KUBURAN, THE POTTER, SEMBILAN,
GOLIATH, VAGETOZ, LYLA, BAGINDA, termasuk UNGU juga, dll.
Maraknya dunia entertaint dengan menampilkan para pemusik karbitan
tersebut, tampak sangat teramat betapa tidak berkualitasnya para insan
yang terlibat di dalamnya, baik musisinya maupun penikmatnya. Munculnya
band-band baru secara instans dan ‘kacangan’ ini dapat berdampak
munculnya generasi ’miskin creatifitas’ di Indonesia. Dan yang paling
rentan adalah sangat berdampak terhadap kualitas pola pikir generasi
muda. Apa korelasinya?
Industri rekaman seakan menutup kuping atas perkembangan ini, bahkan cenderung memang mengalihkan orientasinya untuk betul-betul meraup profit sebanyak-banyaknya. Para Major Label dan Provider Content
memang mengalihkan orientasinya bahkan dengan sengaja menciptakan pasar
karena pengaruh kuat dari kepentingan para pengusaha yang ingin
mengambil kesempatan untuk memasarkan produknya secara advertising dengan mendompleng acara-acara karbitan yang diisi oleh para musisi ‘kacangan’ tersebut. Para Broadcaster, EO, atau Radio serta TV pun ikut-ikutan menyemarakan live music yang ‘kacangan’ ini. Sebut saja salah satu diantaranya acara DAHSYAT yang setiap hari ditayangkan secara live pada pagi hari. Pagi-pagi sudah menayangkan atau nyekokin kuping kita dengan nada-nada melayu yang hanya memiliki paling maksimal 4 chord standart tersebut, disertai syair-syair mellow murahan. Lalu ada acara INBOX dan DERING yang live di lapangan-lapangan atau space terbuka pusat-pusat perbelanjaan dengan stage yang dipenuhi iklan-iklan komersil. Sekelompok pemusik karbitan ditampilkan main secara lypsinc lalu dieluelukan ratusan penonton ABG, yang berdasarkan informasi para
penonton tersebutpun adalah penonton bayaran yang sengaja dibuat
komunitasnya untuk selalu ikut menonton acar-acara tersebut setiap
ditayangkan. Lalu serta merta lagu-lagu tak berkualitas itupun
diciptakan dengan mudah untuk mensupport “Ost”-nya sinetron-sinetron yang menjamur di Televisi yang juga sarat dengan pembodohan dan tidak educative.
Lalu yang paling miris, lagu-lagu yang dimainkan oleh band-band tersebut nyaris mirip, semuanya memilik themes yang
sama. Syair-syair cinta dan romantis murahan dikemas dengan aliran
senandung melayu. Hancur!!!. Dan ironisya adalah penonton ditipu dengan
penampilan mereka secara live padahal lypsinc. Para pemain musik tersebut memang tidak memiliki skill dalam bermusik. Terkesan hanya sekelompok anak muda yang tampan dan di-make up-in, sebut saja sekelompok ‘boy band’ yang dibekali alat music, diajari 3 atau 4 chord kemudian disuruh rekaman lalu show di mana-mana. Edan!!!. Mie instan bukan?
Para
pemusik tersebut tidak melalui proses kreatif seperti festival, atau
ajang-ajang perlombaan yang kompetitif. Kalau pun ada ajang seperti Indonesian Idol atau Mama Mia, atau apapun yang sejenisnya tidak cukup ideal untuk menyaring para seniman berkualitas. Karena system yuridisnya hanya sebagai ajang jual pulsa oleh
para pebisnis telekomunikasi dan hanya karena perlu muncul idola yang
tampan dan cantik agar laku “dijual” oleh para pebisnis talent, kali-kali aja ada kesempatan untuk menjadi bintang iklan atau tawaran main sinetron. Ono-ono wae
Artinya
dengan miskinnya proses kreatifitas mencipta jelas akan mempengaruhi
kualitas nada dan lagu yang diciptakan. Musik memang bahasa universal,
tapi bukan berarti musik harus seragam aliranya. Musik melayu
boleh-boleh saja, Tapi bukan berarti semuanya kemudian harus jadi
mem’beo’. Ini adalah gejala buruk kualitas music dan musisi Indonesia
saat ini, sebab penurunan kualitas musik Indonesia sama dengan penurunan
kualitas para musisinya.
Tuntutan pasar atau idealisme?
Lebih
dalam lagi bicara dari aspek idealisme, semakin jelaslah generasi
musisi muda negeri ini tidak memiliki karakter bermusik dalam menggarap
lagu. Lalu bagaimana korelasinya….antara proses kreatif penciptaan
dengan pola pikir?, ya akan terkait secara tidak langsung. Dimana
karya-karya yang hanya dikerangkakan untuk kebutuhan pasar semata jelas
akan menyempitkan cara berfikir generasi muda. Karena yang didengar yang
begitu-begitu aja.
Karena
alasan pasar sehingga perlu ditayangkan dengan frekuentif. Karena
bagaimana caranya harus laku sehingga perlu memanipulasi tayangan dengan
pengakomodiran massa penonton bayaran yang secara psiokologis akan
mempengaruhi para penonton lain tanpa proses seleksi kuping secara
alami. Karena syair yg harus ringan dan mudah didengar kuping kalangan
ABG, sehingga kata-kata yang terkandung dalam syair lagu hanya sekitar
kata-kata cinta anak remaja dan terkesan asal-asalan, ya alay (pengistilahan untuk kasus atau jenis musik ini, atau jenis penikmat musik murahan ini).
Tidak ada lagi terdengar syair sepuitis KLA dan PADI, atau nada-nada dan chord-chord
miring seperti garapan Fariz RM atau Melly Guslaw , reggaenya Tony Q
Rastafara dan Syair-syair kritis karya Iwan Fals pun tenggelam. Lantunan
nakal atau sentilan ala sundaness Doel Sumbangpun memang tak kan mungkin lagi kita dengar langsung dari penyanyinya, juga The Bluesnya
si betawi Benyamin ‘babeh’ Sueb pun sudah hampir terkubur bersama
penciptanya. Atau karya-karya Harry Roesly-pun pastinya hanya kita
dengar dari chord okulele para pengamen jalanan yang masih
idealis di jalurnya. Syair pop puitis ciri khas Chrisye, pastinya hanya
kita dengar pada acara-acara “tribute” saja. Atau syair-syair Ebiet G.
Ade yang membuat merinding bulu kuduk, yang kerap menyikapi tentang
bencana alam dan fenomena kemanusiaan, hanya tinggal “album kenangan”.
Dekadensi idealisme musik Indonesia sedang berlangsung saat ini.
Kemorosotan kualitas musik seiring merosotnya kualitas para musisi.
Kesimpulanya
adalah bahwa generasi musisi baru Indonesia dengan hasil karya ciptanya
yang ‘kacangan’ itu telah ikut serta membodohi pola pikir masyarakat
penikmatnya. Sehingga terciptalah kuping konsumtif dengan asupan
nada-nada murahan dan cengeng. Sehingga muncullah generasi yang tidak
punya sense terhadap lingkungan sendiri, terjebak dengan romantisme picisan. Itulah generasi Alay…..
Mana ada lagi syair seperti torehan SAS yang menceritakan tentang bencana alam Laratuka, lalu kemudian dikumandangkan kembali oleh BOOMERANG dengan arrangement baru. Lagu lawas tersebut cukup berumur
karena berkualitas hingga masih layak untuk didengar kembali. Masihkah
akan kita dengar Syair sederhana KPJ yang mengisahkan sulitnya hidup
karena mahalnya harga susu dan rendahnya upah buruh yang tertindas?…dan
kapan lagi kita dengar harapan-harapan religious yang syiarkan oleh
BIMBO bersaudara?
Diharapkan
kepada masyarakat penikmat musik dapat menyeleksi karya musisi mana
yang layak untuk didengar. Bukan mana yang enak dilihat mata. Karya yang
layak didengar adalah sebuah karya yang idealis. Dan kepada para musisi
lawas, diharapkan untuk tetap konsisten dan idealis pada warnanya dan
tetap mempertahankan kualitas bermusik tanpa harus menjadi bunglon
ikut-ikutan pasar, apalagi harus “melacurkan” diri menjadi pemain
sinetron. http://hiburan.kompasiana.com/musik/2012/03/27/belantika-musik-indonesia-kehilangan-roh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar